JAKARTA,BM--- Sekjen Badan Pengurus
Pusat Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (BPP GINSI) Achmad Ridwan
Tento mendesak Kementerian Perhubungan turun tangan tangani tarif liar cargo
impor berstatus less than container load (LCL) di Pelabuhan Tanjung Priok
Jakarta.
Ridwan mendesak formulasi, komponen dan
tarif layanan kargo impor harus dievaluasi hingga tercapai kesepakatan tarif
baru antar penyedia dan pengguna jasa guna menghilangkan praktik kutipan liar
di pelabuhan tersibuk di Indonesia itu.
“Sesuai perintah Presiden Jokowi,
pungutan liar (pungli) harus diberangus. Nah ini kesempatan untuk menertibkan
praktek kutipan liar yang tidak memiliki dasar hukumnya di Pelabuhan Priok,”
ujar Ridwan.
Menurutnya, instansi terkait sulit
mengawasi praktik yang masuk kategori pungutan liar (pungli) dalam layanan
impor tersebut sebab tidak memilik acuan tariff, kalaupun ada jasa soal layanan
impor LCL itu sudah kedaluarsa sejak 2010 namun tarif liar pada layanan kargo
impor tersebut masih saja berlangsung sampai sekarang.
Akibat praktek pungli tersebut, kata
Ridwan, yang paling dirugikan atas kondisi seperti ini adalah perusahaan
importir yang melakukan pemasukan barang melalui pelabuhan Priok dengan status importasi
LCL. “Kami pengurus GINSI sudah sering mengeluhkan pungli layanan importasi LCL
di Priok itu tapi tidak ada perubahan hingga kini,” tuturnya.
Dikatakannya, seharusnya yang melakukan
pengawasan tarif tersebut Otoritas Pelabuhan (OP). Tetapi bagaimana mau
ngawasin kalau kesepakatan tarif nya sudah tidak berlaku lagi.
GINSI berharap agar tarifya menjadi
single billing dan harus ada kesepakatan antara penyedia dan pengguna jasa di
pelabuhan. Penyederhanaan sistem tarif atau melalui single billing layanan
kargo impor LCL di Priok bisa diterapkan dengan mekanisme operator gudang
langsung menagihkan kepada pemilik barang.
Selama ini dalam praktek pungli
tersebut, sistem penagihan layanan LCL impor yakni operator gudang yang nagih
ke perusahaan forwarder, kemudian forwarder menagih ke pengguna jasa.
Padahal sesuai dengan kesepakatan
asosiasi penyedia dan pengguna jasa Pelabuhan Priok pada tahun 2010, komponen
biaya LCL cargo impor yang sudah disepakati untuk forwarder charges a.l CFS
charges, DO charges, agency charges, dan administrasi.
Adapun biaya local charges untuk layanan
LCL kargo impor hanya diberlakukan komponen tarif a.l delivery, mekanis, cargo
shifting, surveyor, penumpukan, administrasi, behandle dan surcharges.
Namun, di luar komponen tersebut masih
ada pemilik barang impor yang dikutip komponen biaya tambahan seperti devaning
atau pecah pos yang mencapai Rp2,13 juta/cbm, biaya lain-lain Rp2,8
juta/dokumen, serta administrasi delivery order (DO) Rp1,45 juta.
Kian liarnya kutipan biaya penanganan
kargo impor berstatus LCL di Pelabuhan Tanjung Priok saat ini, diduga lemahnya
pengawasan operator dan instansi terkait akibat tidak adanya fasilitas terpadu
dalam penanganan layanan jenis kargo impor tersebut.
#poskotanews/dwi