Foto: Humas Kemendagri |
JAKARTA.BM- Perempuan punya hak setara untuk berkiprah dalam politik. Karena itu, keterwakilan perempuan dalam lembaga politik sangat penting. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, menaruh konsen pada pemenuhan keterwakilan perempuan dalam politik. Sekaligus, ikut mendorong partisipasi kaum perempuan, melalui program pendidikan politik.
Demikian disampaikan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo saat memberi sambutan dalam acara Konsolidasi Nasional III Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia di Hotel Bidakara, Jakarta, Jumat (17/11). Menurut Tjahjo, regulasi politik sudah mengamanatkan agar keterwakilan perempuan bisa diakomodir. Pemerintah sendiri berkomitmen mendorong itu. Sehingga, kebijakan afirmasi politik bagi kaum perempuan bisa diwujudkan. Banyak yang sudah dilakukan. Salah satunya upaya penataan politik dan pemerintahan lewat perbaikan lembaga, proses politik dan pemerintahan.
"Dimulai dengan memperbaiki aturan hukum dasar, dilanjutkan dengan pembuatan aturan hukum baru," kata dia.
Namun memang Tjahjo mengakui, meski ada kebijakan afirmative action 30% pemenuhan keterwakilan perempuan di parlemen, masih ada sejumlah kendala. Kendala itu antara lain, masih adanya ketidaksiapan partai politik dalam mengimplementasikan regulasi keterwakilan perempuan. Kendala lain terkait dengan stigma di tengah masyarakat bahwa dunia politik adalah dunia laki-laki.
"Lainnya keterwakilan kepengurusan atau kader perempuan dalam struktur partai politik tidak memadai 30 %," ujarnya.
Biaya politik yang tinggi, lanjut Tjahjo, acapkali membuat gerak kiprah perempuan di dunia politik terhambat. Pada akhirnya, itu berujung pada masih rendahnya partisipasi perempuan dalam politik. Pemerintah sendiri memandang peningkatan eepresentasi politik perempuan di parlemen pada Pemilu 2019 sangat penting. Bahkan, pemerintah berkomitmen untuk ikut mendorong tercapainya kebijakan afirmasi 30% keterwakilan perempuan di parlemen. Khususnya pada Pemilu 2019. Ini sangat penting dalam rangka menyukseskan pembangunan nasional.
"Hal ini juga sudah menjadi kewajiban Pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan," kata Tjahjo.
Namun memang kata dia, bukan perkara mudah mewujudkan. Tapi, bukan berarti tidak bisa direalisasikan. Masih ada sejumlah tantangan yang harus dijawab oleh pihak terkait. Misalnya, tantangan yang bersifat internal. Tantangan internal ini menyangkut masih terbatasnya perempuan yang berkualitas dan memiliki kualifikasi dalam dunia politik. Contohnya dari sisi leadership, organisasi, publick speaking, lobying, mempengaruhi masa, dan sebagainya.
"Juga masih ada rasa kurang percaya diri atau kendala psikologis untuk bersaing dengan laki-laki di dunia politik," kata dia.
Tantangan lainnya, kata Tjahjo, terkait dengan masih dominannya public image di komunitas perempuan bahwa perempuan memiliki banyak keterbatasan untuk berkiprah di dunia politik. Sementara tantangan eksternal terkait dengan kendala kultural.
"Masih ada kendala kultural yang cenderung patriarkis atau laki-laki minded. Perempuan lebih cocok sebagai tiyang wingking yang mengikuti laki-laki. Serta kurang seriusnya kehendak politik penyelenggara negara terhadap peran serta perempuan dalam politik," tuturnya.
Tidak hanya itu, kata Tjahjo masih adanya sikap aktor politik laki-laki, bahkan sebagian besar yang under estimate terhadap kaum perempuan. Dan, acapkali sikap media massa yang kurang advokatif terhadap kaum perempuan juga berpengaruh. "Sistem politik juga masih setengah hati mengakomodir keterwakilan," katanya.
Tjahjo sendiri mewakili pemerintah berharap pada pemilu 2019, kaum perempuan bisa tampil dan lebih berperan. Pesta demokrasi 2019, harus jadi momentum bagi kaum perempuan. Karena ini, kaum perempuan, harus memposisikan dan memerankan dirinya sebagai “champion” demokrasi yang sejati. Sehingga persaingan di pasar politik berjalan fairness. Perempuan calon legislatif juga harus tampil sebagai manusia paripurna yang penampilan politiknya senantiasa mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Ini sangat penting untuk meraih kemenangan perolehan suara pemilu secara terhormat.
"Calon legislatif dari kalangan perempuan juga harus mampu menebar senyum dan keramahan politik untuk menyapa konstituen baik di perdesaan maupun di perkotaan, dengan menunjukkan sifat kesejukkan dan kedamaian dalam berpolitik praktis akan menjamin stabilitas politik dan keamanan," katanya.
Tjahjo juga meminta politisi perempuan untuk menjauhkan diri dari praktik-praktik demokrasi transaksional yang semakin memperparah degradasi moral politik. Politik transaksional bukan pendidikan politik yang baik bagi generasi mendatang.
#Gan/ Humas Kemendagri
No comments:
Post a Comment