Sumedang(JABAR).BM- "Ini gelar doktor honoris causa yang pertama mengenai tata pemerintahan yang diberikan oleh IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) kepada ibu Megawati," kalimat itu meluncur dari Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo saat diwawancarai para wartawan usai menghadiri proses sidang senat terbuka IPDN penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa kepada mantan Presiden RI kelima, Megawati Soekarnoputri di kampus IPDN, Kamis (8/3).
Menurut Tjahjo, banyak pemikiran Megawati, terutama saat menjadi Presiden yang kini telah dijalankan jadi kebijakan negara, diantaranya otonomi daerah dan desentralisasi. Selain memang, sejak lama Megawati juga menaruh perhatian kepada perkembangan IPDN, sehingga di era Presiden Jokowi sekarang, kampus IPDN ditetapkan sebagai kampus pelopor dan penggerak revolusi mental.
"Apalagi yang mendirikan IPDN, melahirkan IPDN itu adalah Bung Karno," katanya.
Bung Karno, lanjut Tjahjo, sebagai bapak pendiri bangsa, sejak dulu telah memikirkan bagaimana membangun sebuah sistem dan aparatur pemerintahan yang terpadu. Aparatur yang memahami mengenai tata kelola pemerintahaan. Dan, di era Megawati jadi Presiden, desentralisasi dengan otonomi daerahnya diperkuat.
Sementara mengenai politik pembangunan yang disinggung Megawati dalam orasi ilmiahnya, menurut Tjahjo, dalam lingkup kampus IPDN, sudah diterapkan. Para praja IPDN sekarang didorong untuk berpikir dan punya konsepsi. Dengan konsepsi, setidaknya akan lahir pemikiran dan perencanaan, misalnya bagaimana merencanakan sesuatu.
"Jadi jangan berfikir 10 tahun, ini berfikir minimal 100 tahun. Jadi pembangunan semesta berencana jangka panjang yang selalu dihimbau oleh Ibu Mega bahwa seluruh praja IPDN yang tersebar di semua Indonesia, mulai sekertaris kecamatan sampai ada yang gubernur, saya kira itulah yang harus membangun konsep tata kelola pemerintahan dengan perencanaan program jangka panjang," katanya.
Isu lain soal Pilkada juga sempat ditanyakan para wartawan pada Tjahjo. Menurut Tjahjo Pilkada adalah memilih calon pimpinan daerah yang amanah. Maka harusnya yang dikedepankan adalah debat publik, dimana para kontestan bisa adu konsep dan gagasan bagiaman membangun daerah serta mempercepat pembangunan daerah. Jangan, kemudian yang dikembangkan kampanye bernuansa SARA, ujaran kebencian, fitnah, hoax dan politik uang.
"Jangan sekali-kali dalam adu debat itu berbau fitnah, SARA dan berujar kebencian karena ini bagian dari proses kampanye memilih pemimpin kepala daerah yang amanah. Mari adu konsep, gagasan secara bebas apa yang menjadi keinginan masyarakat di daerah selama kampanye," katanya.
Tjahjo mengomentari peran politik perempuan yang tadi sempat disinggung Megawati dalam orasi ilmiahnya. Kata dia, UU sudah menegaskan bahwa di Indonesia tidak ada diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Dan, telah dilansir pula politik affirmasi tentang kuota 30% perempuan. Ini seperti membatasi memang yang seharusnya tidak begitu.
"Siapa pun warga negara yang bisa dan mampu mulai jadi presiden sampai kepala desa atau jadi guru atau jadi ibu rumah tangga atau wartawan semua sama. Tidak ada diskriminasi tapi masih ada pola fikir ditengah masyarakat Indonesia bahwa wanita itu orang belakang, tunduk pada suami. Itu secara keluarga beliau tidak ingin campur tangan tapi sebagai bangsa kan semua punya hak yang sama," tutur Tjahjo.
Menurut Tjahjo, Megawati sangat menaruh perhatian serius pada peningkatan peran perempuan, terutama dalam politik. Karena itu, ketika ada diskriminasi, Megawati sangat sedih. Terlebih, Megawati sudah banyak makan asam garam dalam dunia politik.
"Beliau pernah jadi orang nomor 1 di negara ini, ketua umum partai terlama. Dari bawah beliau yang tadinya dihujat, bisa jadi presiden," katanya.
# Gan | Humas Kemendagri
No comments:
Post a Comment