Om Swastyastu. Om Awighnam Astu Namo Siddham. Om Anobadrah Krtavo Yantu Wisvatah. Umat sedharma yang berbahagia. Kita semua berada dan hidup di negara yang kaya akan keberagaman suku, ras, agama, budaya, bahasa, dan masih banyak lainnya. Inilah yang menjadi potensi besar untuk mempersatukan keberagaman ini menjadi sebuah harmoni yang begitu indah.
Namun, dengan adanya keberagaman ini tentu saja ada tantangan yang akan kita hadapi. Agama dijadikan tameng oleh oknum tertentu untuk melakukan ekstremisme kekerasan yang bisa saja merusak sendi kebangsaan yang majemuk.
Keragaman itu memang selalu menimbulkan perbedaan. Perbedaan di bidang apapun, berpotensi memunculkan konflik. Jika tidak diselesaikan dengan baik, maka akan sangat berpotensi menimbulkan sikap ekstrem yang selalu membenarkan pilihan-pilihan yang terbatas. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan solusi yang mampu memberikan kedamaian dan kebahagiaan dalam kehidupan keagamaan. Di sinilah peran moderasi beragama dibutuhkan yang diyakini mampu menghargai keragaman pilihan dan menyelamatkan kita dari ekstremisme, intoleran dan aksi kekerasan.
Bapak/Ibu umat sedharma yang saya muliakan. Pada dasarnya semua agama mengajarkan moderasi, termasuk juga Agama Hindu. Moderasi yang dimaksud adalah cara kita beragama secara moderat atau sesuai dengan dengan esensi agama itu sendiri.
Moderasi beragama dalam Hindu berarti pengamalan agama Hindu yang tidak berlebihan. Kita harus semakin meneguhkan moderasi agama Hindu. Moderasi dalam artian agama Hindu tidak boleh dibawa kepada pemahaman dan bentuk pengamalan yang ekstrem atau yang berlebihan. Pasalnya, agama Hindu pada hakikatnya adalah moderat. Kalau sudah berlebihan, tentu sudah keluar dari inti ajaran agama Hindu.
Oleh sebab itu, manusia Hindu berkewajiban untuk mengembalikan semua bentuk pemahaman dan pengamalan keagamaan dalam sisi yang moderat. Untuk itu, kita perlu mengajak kaum millenial untuk dapat memahami sikap moderasi beragama. Sebab, sikap ini menjadi formula ampuh dalam merespon dinamika zaman kali di mana maraknya intoleransi, ekstremisme dan fanatisme berlebihan yang bisa mencabik kerukunan umat beragama di Indonesia. Moderasi dapat memberikan makna bagaimana kita harus hidup damai dan saling menghargai serta berdampingan dan bertoleransi kepada sesama. Di sinilah pentingnya moderasi beragama dibangun atas dasar filosofi universal dalam hubungan sosial kemanusiaan.
Umat sedharma yang berbahagia. Seperti yang kita ketahui bersama, Agama Hindu banyak sekali memiliki ajaran-ajaran kebenaran yang dapat kita pergunakan sebagai penuntun dan pedoman dalam kehidupan. Salah satu kitab yang sudah tidak asing lagi kita dengar adalah kitab Bhagawadgita. Kitab yang dikarang oleh Rsi Vyasa ini bersifat universal yang diperuntukkan untuk seluruh umat manusia, sepanjang masa. Kitab ini berisi pesan untuk mengetahui rahasia kehidupan sejati di dunia ini sehingga dapat terbebaskan dari kesengsaraan dunia dan akhirat. Umat Hindu meyakini, Bhagawadgita merupakan ilmu pengetahuan abadi, yakni sudah ada sebelum umat manusia menuliskan sejarahnya dan ajarannya tidak akan dapat dimusnahkan.
Umat sedharma yang berbahagia. Jika dikaitkan moderasi dalam Bhagawadgita, tentu saja memiliki keterikatan yang begitu kuat. Bhagawadgita dapat dijadikan penuntun dalam memijak keberagaman di nusantara tercinta. Dalam Bhagawadgita banyak sekali sloka-sloka yang memuat tentang moderasi tersebut. Seperti salah satu kutipan sloka yang tertuang di dalam kitab suci Bhagawadgita Adhyaya 4 sloka 11 yang berbunyi:
Ye yatha mam prapadyante. Tams tathai ‘va bhajamy aham. Mama vartma ‘nuvartante. Manushyah partha sarvasah. (Jalan manapun ditempuh manusia ke arah-Ku, semuanya Ku-terima, dari mana – mana semua mereka menuju jalan-Ku, oh Parta)
Umat sedharma yang berbahagia. Berdasarkan terjemahan kutipan sloka di atas, dapat kita tarik benang merah bahwasannya apapun keyakinan atau agama yang dianut seseorang dengan tujuan untuk mencari dan mendekatkan diri kepada Tuhan, akan diterima oleh-Nya.
Umat sedharma, di dalam ajaran agama Hindu juga kita mengenal ajaran catur marga, yang merupakan empat jalan menuju Tuhan. Keempat jalan ini sesungguhnya sama, akan tetapi umatnya diberikan kebebasan untuk memilih jalan mana yang akan ditempuh untuk menuju atau mendekatkan diri kepada-Nya. Kita rajin membaca kekawin, geguritan, dan kitab-kitab suci lainnya, tanpa disadari itu merupakan jalan jnana marga, kita sudah mendekat diri kepada-Nya.
Ketika ada piodalan dipura, masyarakat diminta serentak untuk mengayah, membuat upakara. Nah ini karma marga sudah kita implementasikan dalam kehidupan nyata. Setelah upakara selesai, seluruh banten dihaturkan. Terkadang masing-masing umat membuat banten berbeda lagi yang dibawanya dari rumah, itu juga termasuk jalan bhakti. Dengan penuh konsentrasi kita memuja dan menyembah Tuhan, melalui meditasi atau tapa. Ketika itu, jalan raja marga sudah kita tempuh.
Jika diibaratkan seperti kita ingin mendaki gunung, banyak sekali jalan yang dapat kita pilih untuk sampai ke puncak. Bisa lewat jalur kiri, kanan, samping, sesungguhnya semua jalan itu sama yang akan mengantarkan kita sampai ke puncak gung yang kita tuju.
Setiap agama tentu akan mengajarkan tentang kebaikan atau dharma, tidak hanya untuk sesama manusia saja, akan tetapi kepada semua makhluk ciptaan-Nya “Sarwa Prani Hitankara”. Umat sedharma, dalam ajaran agama tidak ada yang bersifat menjerumuskan umatnya ke jalan yang sesat atau merugikan umatnya. Akan tetapi, umatnyalah yang terkadang belum memahami secara utuh mengenai ajaran agama tersebut. Di sinilah tugas kita sebagai manusia yang memiliki wiweka harus mampu memupuk kesadaran dalam diri.
Umat sedharma yang berbahagia. Dengan adanya keberagaman ini, jadikanlah sarana untuk bisa saling bertukar pikiran, tidak saling menjatuhkan. Karena sesungguhnya di hadapan Tuhan, kita adalah sama.
Kitab Bhagawadgita Adhyaya 7 sloka 21 berbunyi: Yo yo yam yam tanum bhaktah. Sraddhayarcitum icchati. Tasya tasya chalam sraddham. Tam eva vidadhamy aham. (Apapun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama, aku perlakukan kepercayaan mereka sama, supaya tetap teguh dan sejahtera).
Umat sedharma yang berbahagia. Isi di dalam sloka di atas memberikan penegasan ulang terhadap sloka sebelumnya dan bersifat universal. Setiap umat Hindu memliki keberagaman bentuk pemujaan yang ditujukan kepada Tuhan.
Keberagamanan ini dapat kita jadikan cermin bahwa agama Hindu bersifat universal dan fleksibel. Kita lihat saja contoh sarana persembahan kita yang sederhana seperti canang sari. Antara daerah satu dengan lainnya memiliki bentuk yang berbeda baik itu dari segi ukurannya, ada yang segitiga, ada bulat, ada segi empat. Kemudian ada yang berisi reringitan, ada yang polos.
Dari sini dapat kita lihat bahwa perbedaan ini terjadi karena adanya seni dan keindahan yang menyelimuti umat dalam mengekspresikan bentuk sarana persembahan. Sehingga dapat pula menjadi ciri khas pada setiap daerah. Perbedaan ini sah-sah saja terjadi l, namun sesungguhnya memiliki esensi dan tujuan yang sama.
Sri Kresna memberitahukan kepada umat manusia, bahwa di dunia ini akan ada lebih dari satu agama dan Tuhan mempersilahkan manusia untuk memilih, mana yang akan dijadikan dasar keyakinannya. Dan oleh setiap agama akan diajarkan bagaimana cara sembahyang, berdoa, mantra-mantra, pujian-pujian yang menuju kepada Tuhan. Sloka ini juga mengajarkan kita untuk menghormati dan menghargai perbedaan yang ada. Janganlah saling menghina, menyombongkan agama. Karena semua agama bisa ada di dunia ini adalah kehendak Tuhan. Apabila ada orang yang menghina atau melecehkan agama lain. Sebenarnya orang tersebut sangat tidak mengerti secara mendalam tentang keberadaan agamanya sendiri.
Umat sedharma yang berbahagia, pepatah boleh saja mengatakan “rumput tetangga lebih hijau dibandingkan rumput sendiri”. Maka umat beragama jangan sampai melihat agama lain itu sebagai suatu keindahan maka tertarik untuk memasukinya. Karena sesungguhnya agama apa yang sudah kita anut sekarang jika diyakini dan dijalankan ajarannya, sesungguhnya sama dengan agama lainnya, namun bentuk dan caranya saja yang berbeda.
Di dalam kitab suci Bhagawadgitha Adhyaya 9 sloka 29 menegaskan pernyataan di atas: Samo ‘ham sarva-bhutesu. Na me dvesyo’sti na priyah. Ye bhajanti tu mam bhaktya. Mayi te tesu capyaham (Aku bersikap sama pada semua makhluk, tidak ada yang Aku benci dan tidak ada yang Aku kasihi. Akan tetapi, mereka yang memuja-Ku dengan rasa bhakti, maka dia akan selalu bersama-Ku dan Aku ada pada dirinya).
Umat sedharma yang berbahagia. Sloka di atas mengajarkan kita bahwasannya semua umat dianggap sama. Bukan berarti jika umat melakukan persembahan yang mewah dan besar akan disayang oleh Tuhan. Dan bukan berarti pula jika umat hanya mempersembahkan sehelai daun, dibenci oleh-Nya. Seluruh persembahan yang kita lakukan hendaknya selalu didasari oleh rasa tulus ikhlas, dan rasa bhakti. Karena hal inilah yang akan mengantarkan kita untuk mendekatkan diri kepada-Nya sebagai wujud syukur dan penghormatan kepada-Nya.
Dengan demikian umat sedharma yang berbahagia, begitu jelas sudah dipaparkan dalam kitab suci Bhagawadgita mengenai moderasi kita sebagai umat Hindu. Sehingga itu dapat kita jadikan dasar dan teladan agar terhindar dari perselisihan atau ketidaksepahaman antar umat.
Melalui sastra suci Bhagawadgita, Tuhan telah mengajarkan sebuah laku yang mulia dan penuh dengan kebijaksanaan, tentang hakikat terlahir, hidup, serta berkarma dan membawa sang jiwa yang bersemayam di dalam badan untuk tidak membedakan mana yang lebih dikasihi ataupun yang dibenci. Inilah pentingnya moderasi beragama dalam hidup ber-Pancasila dan ber-Bhinneka Tunggal Ika. Jangan sampai karena perbedaan pandangan politik, keadaan ekonomi yang sulit, pergaulan, kita sebagai umat Hindu yang memegang teguh spirit pluralisme salah menempatkan diri serta ikut larut dalam suasana yang menghancurkan kedaulatan.
Kita sebagai umat Hindu seharusnya mampu membawa angin segar kemajemukan dan ke-Bhinekaan. Apa yang sesungguhnya diajarkan oleh agama Hindu adalah pluralisme agama, beragama dengan cara moderat, bukan beragama dengan cara ekstem dan intoleran terhadap perbedaan-perbedaan ritual atau acara agama.
Umat sedharma yang berbahagia, berdasarkan sloka Bhagawadgita di atas Tuhan tidak ada membedakan umatnya berdasarkan suku, rasa, agama, bahasa, budaya ataupun lain sebagainya. Sembah dan sujud bhakti yang tulus ikhlas dalam persembahan itulah yang terpenting dan utama di hadapan-Nya. Bila negara kita satu, bila bangsa kita satu, maka sesungguhnya kita semua adalah bersaudara dalam satu kesatuan negara-bangsa. Dan sesungguhnya adalah satu dan bersaudara.
Dengan demikian umat sedharma yang berbahagia, kita semua adalah saudara “Vasudhaiva Kutumbakam” harus saling jaga, saling menghormati, saling menghargai, saling asah, asih, asuh, “Paras Paros Sarpanaya” agar terciptanya keharmonian shanti jagadhita.
Umat sedharma yang berbahagia semoga pelita dharma ini dapat bermanfaat bagi kita untuk menguatkan keberagaman kita di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Om Santih, Santih, Santih Om
I Dewa Ayu Tri Juliani, S.Ag, M.Pd (Rohaniwan Hindu)
No comments:
Post a Comment