Yaṃ esā sahate jammī, taṇhā loke visattikā; sokā tassa pavaḍḍhanti, abhivaṭṭhaṃva bīraṇaṃ. Dalam dunia ini, siapapun yang dikuasai oleh nafsu keinginan rendah dan beracun, penderitaannya akan bertambah seperti rumput birana yang tumbuh dengan cepat karena disirami dengan baik. (Dhammapada, Syair 335)
Secara umum tidak ada yang salah dengan keinginan. Setiap manusia memiliki keinginan dasar yang menuntun gerak dan perilaku kehidupan yang dijalani. Mulai dari bangun pagi, sarapan, bekerja, dan tidur, kesemuanya didahului oleh keinginan. Gerakan sederhana seperti menggaruk kulit yang gatal pun tidak lepas dari aspek keinginan yang mendahului. Singkatnya keinginan yang mendasari perilaku secara kategori dapat dikelompokkan menjadi netral (upekkha), baik (kusala) ataupun tidak baik (akusala).
Kamacchanda adalah hasrat, keinginan, kerinduan untuk menikmati objek indrawi dari enam (6) pintu indera, baik melalui penglihatan mata, pendengaran telinga, penciuman hidung, perasa lidah, sentuhan seluruh tubuh, serta pintu batin. Kenikmatan inderawi atau nafsu keinginan digolongkan dalam kelompok keinginan yang tidak baik (akusala) karena hanya akan berujung pada penderitaan dan menghalangi konsentrasi serta keheningan batin. Secara tegas Buddha menyebutkan dengan perumpamaan bahwa nafsu keinginan memang manis seperti madu tetapi membuat batin menyimpang dan kacau (Sutta Nipata: 50).
Nafsu keinginan tidak berhenti hanya pada nafsu keinginan, tetapi membawa potensi dan akan bergulir secara cepat dalam arus batin yang buram dan kacau atau tidak jernih. Arus kamacchanda atau nafsu keinginan akan cepat berproses laksana bola salju menjadi tanha (nafsu keinginan yang lebih dalam). Selanjutnya, dia akan segera menjadi kemelekatan terhadap objek indera (kamupadana), mengakibatkan munculnya kecenderungan laten hasrat sensual (kamaraganusaya), hingga akhirnya timbullah di mana batin hanya berhasrat melekat pada kenikmatan inderawi (kamasava).
Batin yang melekat pada kenikmatan duniawi akan susah untuk memiliki kejernihan karena arus batin dikuasai oleh keinginan akan kenikmatan yang terus mengikat. Meskipun lima pintu indera sedang tidak menikmati kesenangan, tetapi pintu batin dapat terus menikmati kenangan kenikmatan yang telah dirasakan di masa lalu. Fantasi lamunan kenikmatan menimbulkan kerinduan untuk dapat mengalami rangsangan indriawi secara terus-menerus yang bermuara pada kegelisahan.
Untuk menggambarkan kegelisahan batin tersebut, Buddha menggunakan analogi atau perumpamaan bahwa nafsu kesenangan indriawi sebagai luka borok. Semakin digaruk, semakin gatal, dan semakin menimbulkan luka menganga (Majjhima Nikaya I :505). Itulah gambaran singkat titik krusial di mana nafsu keinginan hanya berujung pada penderitaan.
Nafsu-nafsu keinginan pada hakikatnya timbul apabila seseorang secara terus-menerus memperhatikan obyek yang indah (subhanimitta) tanpa disertai kebijaksanaan. “Para bhikku, dikarenakan perhatian yang tidak bijaksana terhadap keindahan, hasrat indrawi yang belum muncul menjadi muncul dan yang sudah muncul semakin berkembang” (Angutara Nikaya 1. 11-20).
Untuk mengurangi jerat nafsu keinginan seseorang harus berusaha menguasai pikiran dan mengendalikan inderanya. Latihan yag bisa digunakan adalah membiasakan diri menghindari obyek yang dapat menimbulkan nafsu keinginan serta membiasakan diri mengamati obyek menjijikkan (asubhanimittassa uggaha) atau bahkan bermeditasi pada obyek menjijikkan (asubhabhavananuyoga).
Langkah selanjutnya adalah berusaha mengendalikan indera dengan baik (indriyesu guttadvarata). Untuk melengkapinya, seseorang harus memiliki sahabat spiritual yang dapat menuntun menuju kebajikan (kalyanamittata). Dengan demikian maka nafsu keinginan secara perlahan akan dapat dikendalikan, dilemahkan atau ditaklukkan.
Semoga kita semua bebas dari penderitaan. Semoga semua makhluk hidup berbahagia.
Secara umum tidak ada yang salah dengan keinginan. Setiap manusia memiliki keinginan dasar yang menuntun gerak dan perilaku kehidupan yang dijalani. Mulai dari bangun pagi, sarapan, bekerja, dan tidur, kesemuanya didahului oleh keinginan. Gerakan sederhana seperti menggaruk kulit yang gatal pun tidak lepas dari aspek keinginan yang mendahului. Singkatnya keinginan yang mendasari perilaku secara kategori dapat dikelompokkan menjadi netral (upekkha), baik (kusala) ataupun tidak baik (akusala).
Kamacchanda adalah hasrat, keinginan, kerinduan untuk menikmati objek indrawi dari enam (6) pintu indera, baik melalui penglihatan mata, pendengaran telinga, penciuman hidung, perasa lidah, sentuhan seluruh tubuh, serta pintu batin. Kenikmatan inderawi atau nafsu keinginan digolongkan dalam kelompok keinginan yang tidak baik (akusala) karena hanya akan berujung pada penderitaan dan menghalangi konsentrasi serta keheningan batin. Secara tegas Buddha menyebutkan dengan perumpamaan bahwa nafsu keinginan memang manis seperti madu tetapi membuat batin menyimpang dan kacau (Sutta Nipata: 50).
Nafsu keinginan tidak berhenti hanya pada nafsu keinginan, tetapi membawa potensi dan akan bergulir secara cepat dalam arus batin yang buram dan kacau atau tidak jernih. Arus kamacchanda atau nafsu keinginan akan cepat berproses laksana bola salju menjadi tanha (nafsu keinginan yang lebih dalam). Selanjutnya, dia akan segera menjadi kemelekatan terhadap objek indera (kamupadana), mengakibatkan munculnya kecenderungan laten hasrat sensual (kamaraganusaya), hingga akhirnya timbullah di mana batin hanya berhasrat melekat pada kenikmatan inderawi (kamasava).
Batin yang melekat pada kenikmatan duniawi akan susah untuk memiliki kejernihan karena arus batin dikuasai oleh keinginan akan kenikmatan yang terus mengikat. Meskipun lima pintu indera sedang tidak menikmati kesenangan, tetapi pintu batin dapat terus menikmati kenangan kenikmatan yang telah dirasakan di masa lalu. Fantasi lamunan kenikmatan menimbulkan kerinduan untuk dapat mengalami rangsangan indriawi secara terus-menerus yang bermuara pada kegelisahan.
Untuk menggambarkan kegelisahan batin tersebut, Buddha menggunakan analogi atau perumpamaan bahwa nafsu kesenangan indriawi sebagai luka borok. Semakin digaruk, semakin gatal, dan semakin menimbulkan luka menganga (Majjhima Nikaya I :505). Itulah gambaran singkat titik krusial di mana nafsu keinginan hanya berujung pada penderitaan.
Nafsu-nafsu keinginan pada hakikatnya timbul apabila seseorang secara terus-menerus memperhatikan obyek yang indah (subhanimitta) tanpa disertai kebijaksanaan. “Para bhikku, dikarenakan perhatian yang tidak bijaksana terhadap keindahan, hasrat indrawi yang belum muncul menjadi muncul dan yang sudah muncul semakin berkembang” (Angutara Nikaya 1. 11-20).
Untuk mengurangi jerat nafsu keinginan seseorang harus berusaha menguasai pikiran dan mengendalikan inderanya. Latihan yag bisa digunakan adalah membiasakan diri menghindari obyek yang dapat menimbulkan nafsu keinginan serta membiasakan diri mengamati obyek menjijikkan (asubhanimittassa uggaha) atau bahkan bermeditasi pada obyek menjijikkan (asubhabhavananuyoga).
Langkah selanjutnya adalah berusaha mengendalikan indera dengan baik (indriyesu guttadvarata). Untuk melengkapinya, seseorang harus memiliki sahabat spiritual yang dapat menuntun menuju kebajikan (kalyanamittata). Dengan demikian maka nafsu keinginan secara perlahan akan dapat dikendalikan, dilemahkan atau ditaklukkan.
Semoga kita semua bebas dari penderitaan. Semoga semua makhluk hidup berbahagia.
Editor: Tim Buddha Wacana Kemenag
No comments:
Post a Comment