Sempurna dalam sila (tingkahlaku dan kebajikan), memiliki pandangan benar, teguh dalam kebenaran dhamma dan penuh tanggungjawab, serta melakukan apa yang seharusnya dilakukan, orang seperti ini dihargai banyak orang. (Dhammapada, syair 217)
Memang, sangat jarang ditemukan orang-orang yang memiliki banyak kebajikan dan perilaku baik, ditambah wawasan atau pandangan luas, serta teguh memegang kebenaran yang diyakini sebagai standar kebenaran secara umum. Keputusan, ucapan, dan perbuatan yang dilakukan oleh orang bijaksana seperti ini tentu akan membawa kebaikan dan keuntungan bagi banyak orang sehingga layak mendapatkan apresiasi dan penghargaan.
Ironisnya, di antara kita lebih banyak yang melakukan cara-cara keliru atau penyimpangan (agati) dalam pengambilan keputusan. Sehingga, perbuatan maupun ucapannya menimbulkan banyak penyesalan dan kerugian yang menyebabkan penderitaan. Penyimpangan tersebut disebabkan oleh subyektifitas individu karena ketidakmampuan memahami, memilih, memilah, dan mengendalikan diri dalam mencerap semua bentuk pikiran, sentuhan, rasa, suara, dan penglihatan yang masuk melalui panca inderanya.
Penyebab dari timbulnya agati adalah Chandagati (kecurigaan karena mencintai seseorang tertentu saja), Dosagati (kecurigaan karena merasa tidak senang atau membenci), Mohagati (kecurigaan karena kebodohan atau ketidaktahuan), dan Bhayagati (kecurigaan karena merasa takut).
Penyebab Agati yang paling umum mempengaruhi banyak orang adalah chandagati. Chandagati berasal dari kata chanda artinya kesenangan, kecintaan, kecanduan, dan agati. Kecintaan terhadap seseorang, kegemaran hobi, games, kecanduan napza, atau bahkan judi online dapat mempengaruhi seseorang membuat keputusan yang menyimpang, berucap yang tidak benar, kasar, atau berbuat jahat.
Chandagati cenderung menyebabkan seseorang bersifat tamak. Sifat itu akan muncul lebih besar manakala ia tidak dapat memenuhi kebutuhan akan kesenangan indrianya. Seseorang yang diliputi oleh ketamakan, akan membuat keputusan-keputusan yang hanya menguntungkan dirinya sendiri, sehingga kemudian melakukan tindakan tercela seperti korupsi, manipulasi, dan sebagainya.
Chandagati dapat diatasi dengan senantiasa merenungi bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak kekal (anicca). Dengan memahami dan menyadari pengertian itu, lambat laun akan timbul kesadaran bahwa kemelekatan terhadap kesenangan nafsu adalah keliru, dan tidak perlu menghalalkan segala cara untuk mencapai apa yang diinginkannya. Sebaliknya, seseorang dapat memilih dan memilah keinginan yang wajar serta berusaha mendapatkannya dengan cara-cara yang baik, elegan, dan terhormat sesuai dengan norma serta nilai luhur ajaran agama.
Bertolak belakang dengan Chandagati, kebencian kepada seseorang atau identitas tertentu juga dapat membuat seseorang melakukan penyimpangan. Penyimpangan ini disebut Dosagati. Istilah ini berasal dari kata dosa artinya kebencian dan agati. Orang yang penuh dengan kebencian, pikirannya sangat melekat dengan apa yang tidak disukainya sehingga selalu muncul niat jahat, dendam dan kemarahan di dalam hatinya. Dosagati dapat dikikis dengan meditasi, melatih pikiran cinta kasih universal (metta) dan rasa empati kepada semua makhluk (karuna), serta berusaha mengamalkannya dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya, Mohagati, (asal kata: moha dan agati) yaitu penyimpangan yang disebabkan oleh ketidaktahuan atau kebodohan. Dalam Dhammapada syair 243 Buddha mengatakan: “Tato malā malataraṁ” artinya: “ketidaktahuan adalah noda yang paling buruk” bagi manusia. Karena itu sangat beralasan jika orang yang tidak berpengetahuan banyak melakukan penyimpangan keputusan dan perilaku di dalam hidupnya. Umat Buddha yang menyadari hal ini akan segera bangkit, belajar, dan berlatih segala macam ilmu pengetahuan dan ketrampilan agar kebijaksanaannya bertambah.
Terakhir adalah Bhayagati, (asal kata: bhaya dan agati), yaitu penyimpangan yang disebabkan oleh ketakutan atau ancaman. Hal ini bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, karena sebab yang disengaja maupun tidak disengaja. Seseorang yang salah tafsir atau persepsi bisa saja tanpa alasan yang jelas memusuhi dan mengancam kita. Pada waktu dan tempat yang salah, kita juga dapat menjadi sasaran kejahatan. Pada saat itulah kita merasa terancam dan harus melakukan keputusan segera apa yang harus dilakukan. Kita mungkin membela diri secara reflek sehingga menimbulkan cedera orang lain, atau kita berteriak sehinga banyak orang terprovokasi mengeroyok si penjahat.
Selain itu, keputusan yang salah juga dapat mengakibatkan diri kita celaka akibat kesalahan sendiri. Karena itu sangat baik untuk senantiasa mencegah timbulnya ancaman dengan meningkatkan kewaspadaan dan kehati-hatian, terutama dalam berbicara atau berkomunikasi dengan orang lain, melakukan sesuatu, atau berdiam pada suatu tempat yang baru.
Jika kita belajar untuk menjaga pikiran dengan benar, kejadian luar tidak akan berpengaruh. Kita tidak akan menyalahkan keadaan ketika sesuatu berjalan keliru. Kita semestinya tidak berpikir bahwa kita tidak beruntung, korban keadaan, atau bahwa seseorang telah bertindak jahat kepada kita. Apa pun alasan yang ada, tetap tidak dapat menghindar dari akibat perbuatan sendiri.
Untuk itu dalam mengatasi permasalahan hendaklah tanpa menggerutu, senantiasa menunaikan tugas kehidupan dengan senang hati walaupun dalam keadaan yang paling menjengkelkan sekalipun. Hadapilah segala perubahan jika memang seharusnya begitu atau perlu begitu. Menjadi cukup bijaksana untuk mengerti tentang ketidakkekalan atas keadaan duniawi yang mempengaruhi semua orang.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia.
No comments:
Post a Comment