Indonesia bangsa yang kaya akan berbagai suku, agama, ras, dan juga bahasa. Inilah ciri khas Bangsa Indonesia yang multikultural. Multikulturalisme ini harus membuat kita bangga dan menjadikan keragaman sebagai keniscayaan. Keberagaman ini dicantumkan dalam lambang Pancasila yang berbunyi “Bhineka Tunggal Ika”, meski kita berbeda-beda namun bangsa Indonesia memiliki persatuan dan kesatuan yang diimplementasikan dalam semangat gotong-royong dan menjadi ciri khas bangsa Indonesia yang majemuk dan multikultural. Nilai persaudaraan dan kesatuan atau dikenal sebagai nilai Nosarara Nosabatutu ini menjadi nilai dasar yang mempersatukan masyarakat Sulawesi Tengah. Juga nilai Sintuvu yang memiliki makna gotong-royong sebagai bentuk implementasi persaudaraan dakam keragaman.
Dengan nilai Nosarara Nosabatutu, kita menghargai adanya keragaman budaya setempat yang sudah ada tanpa harus menggusik dan ikut campur dengan adat istiadat setempat yang sudah ada dan sudah dijalankan masyarakat setempat. Tugas kita adalah saling membantu ketika masyarakat yang berbeda dengan kita melakukan aktivitas keagamaan atau kebudayaan. Sikap Sintuvu atau sikap gotong-royong menjadikan nilai-nilai positif dikembangkan dalam masyarakat setempat, serta dapat menumbuhkan sikap toleransi dan membangun suasana menjadi hidup penuh guyup dan rukun. Dengan adanya sikap gotong-royong ini, masyarakat akan dapat menyelesaikan tugas dan tanggung jawab dengan begitu cepat selesai.
Pluralisme dan Gotong Royong
Pluralitas artinya kemajemukan. Plural bermakna jamak; lebih dari satu, sedangkan pluralisme diartikan sebagai keadaan masyarakat yang majemuk (khususnya terkait sistem sosial). Pemahaman plurality sebagai fakta sosial memiliki pengertian yang sepadan terhadap singularity sebagai satu kenyataan yang tidak bisa dikesampingkan. Artinya, seberapa besar “keragaman” yang ada, tidak serta merta meniadakan “persamaan” sebagai kenyataan lain. Sebab pluralitas hanya mungkin manakala di sana ada singularitas. Apa yang disebut berbeda lantaran ada bagian-bagian tertentu pada kesunyian manusia yang sama. Persamaan dan perbedaan pada diri manusia dengan melihatnya pada dimensi sosial. Interaksi antar manusia di lingkungan sosial melahirkan sejumlah persamaan dan perbedaan, yang pada gilirannya membentuk kelompok-kelompok mulai dari sekala kecil (keluarga) hingga terbesar (Bangsa).
Pluralisme identitas di ruang publik tidak tumbuh berkembang dengan mulus. Selalu saja ada gesekan antara satu identitas dengan identitas lainnya. Bila tidak dikelola dengan baik, bisa menjadi gesekan yang lebih luas dan menjadi bencana sosial. Perlu adanya kesadaran akan adanya perbedaan sebagai sebuah keniscayaan, serta penghargaan atas perbedaan yang ada. Nilai-nilai persaudaraan sebagai perekat perbedaan harus terus di sampaikan, ditumbuhkan, dirawat dan di implementasikan dalam setiap interaksi sosial.
Perbedaan adalah keniscayaan. Sebagai makhluk sosial, manusia memang dilahirkan berbeda, baik fisik, potensi, talenta, kecerdasan, mental, dan lain-lain. Karena manusia tidak sempurna dan berbeda, maka dalam interaksi sosial membutuhkan peran manusia lainnya. Inilah bentuk gotong royong yang sudah mengakar sejak zaman dulu di Indonesia. Budaya ini telah ada dan harus terus dirawat.
Hindu dan Pluralitas
Pengakuan Hindu terhadap pluralitas kehidupan sebanding dengan penghargaannya terhadap pluralitas itu sendiri. Dalam konteks Weda, penyebutan tentang keragaman akan dengan mudah dijumpai.
Janam bibhrati bahudha vivacasam nanadharmanam prthivi yathaukasam
sahasram dhara dravinasya me duham dhruveva dhenur anapasphuranti
(Atharvaveda XII.1.4 5)
Bumi pertiwi yang memikul beban, bagaikan sebuah keluarga, semua orang berbicara dengan bahasa yang berbeda-beda dan yang memeluk kepercayaan (agama) yang berbeda, Semoga ia melimpahkan kekayaan kepada kita, tumbuhkan penghargaan diantara anda seperti seekor sapi betina (kepada anak-anaknya)
Ye yatha mam prapadyante
tams tathaiva bhajamy aham
mama vartmanuvartante
manusyah partha sarvasah
(Bhagawad Gita 4.11)
Bagaimanapun (jalan) manusia mendekati-Ku, Aku terima, wahai Arjuna. Manusia mengikuti jalan-Ku pada segala jalan.
Sloka-sloka di atas menunjukkan betapa Hindu sangat menyadari, menerima dan menghargai pluralisme sebagai konsekuensi kehidupan. Setiap makhluk, individu, identitas kelompok, identitas agama berhak atas perlakuan baik dan penghargaan. Pluralitas kehidupan sama sekali tidak mengusik rasa hormat dan bersikap diskriminatif.
Hindu menyadari bahwa setiap manusia memiliki potensi yang berbeda dengan manusia lainnya. Ada manusia yang aktif, pekerja; manusia yang emosional, pecinta keindahan dan kelembutan; manusia yang menganalisis dirinya sendiri, penekun mistik; manusia yang mempertimbangkan semua hal dan menggunakan inteleknya; pemikir; pengabdi dan melayani, dan sebagainya. Kesemuanya disebabkan manusia memiliki guna (kualitas diri, pengetahuan, kecerdasan, skil) dan karma (etos kerja, wasana karma) yang berbeda.
Catur-varnyam maya srstam
Guna-karma-vibhagasah,
Tasya kartaram api mam Viddhy akartaram avyayam
(Bhagawad Gita 4.13)
Caturvarna (empat tatanan masyarakat) adalah ciptaan-Ku menurut pembagian kualitas dan kerja; ketahuilah bahwa walaupun Aku penciptanya, Aku tak berbuat dan merubah.
Pengakuan dan penghargaan Hindu terhadap keragaman (plurality) tidak hanya tertera secara teoritik-normatif, tetapi dapat dilihat jelas dalam perjalanan sejarah keberadaan Hindu ketika berdampingan dengan agamat yang lain.
Hubungan komunitas Muslim ini dengan keluarga puri (raja) masih terjalin sampai sekarang. Hubungan mereka dengan orang-orang Hindu berjalan baik selama berabad-abad. Orang Muslim ikut dalam organisasi subak (organisasi pengairan). Hubungan perkawinan antara Hindu dan Muslim berjalan seperti biasa. Masyarakat Muslim di Pegayaman, Singaraja, menggabungkan nama-nama Bali dengan nama Muslimnya. Misalnya Ketut Suhrawadi Abbas, Wayan Ibrahim dan sebagainya. Mereka masih melakukan tradisi mejotan. Pada hari raya Hindu membawakan makanan kepada orang-orang Muslim. Tentu makanan yang halal. Sebaliknya pada hari-hari raya Islam, orang-orang Muslim membawa makanan kepada para tetangganya yang beragama Hindu. Orang-orang Bali menyebut orang-orang Islam ini nyame Selam. Dalam bahasa Bali nyame artinya keluarga satu keturunan yang memuja satu kawitan (asal-usul).
Gotong Royong sebagai Perekat
Pluralitas merupakan kenyataan sosial yang sudah niscaya. Hindu menegaskan bahwa keragaman merupakan bagian dari sebuah kehidupan yang patut untuk senantiasa dihargai dan dijaga selayaknya kita bersikap terhadap diri sendiri. Terdapat beberapa nilai-nilai toleransi dalam agama Hindu yang perlu terus dikembangkan, antara lain: Tat Twam Asi, Ahimsa, dan Tri Hita Karana.
Nilai Tat Twam Asi mengajarkan kita untuk senantiasa mencintai makhluk lain atau orang lain sebagaimana kita mencintai diri kita. Karena kita meyakini bahwa esensi dasar mereka adalah sama dengan esensi kita atau sarwa butham brahman. Bahwa semua makhluk didunia memiliki esensi ke-Tuhanan.
Nilai Ahimsa membuat kita tidak boleh menyakiti orang lain. Hubungan harus didasarkan cinta kasih. Sedangkan nilai Tri Hita Karana mengajarkan kita untuk senantiasa menjaga kehidupan yang harmonis, vertical dan horizontal. Semua nilai-nilai ini tercermin dan ter-implementasi dalam wujud budaya Gotong Royong; memberikan bantuan kepada orang lain karena dilandasi nilai-nilai persaudaraan atau Tat Twam Asi atau Nosarara Nosabatutu, nilai-nilai cinta kasih atau Ahimsa dan nilai Tri Hita Karana atau harmoni.
Gotong royong merupakan budaya masyarakat Indonesia yang perlu terus dijaga dan dirawat. Karena nilai inilah yang akan menyadarkan kita akan pentingnya kehadiran orang lain, tanpa memandang perbedaan yang ada
Dr. dr. Ketut Suarayasa, M.Kes., MARS (Rohaniwan Hindu)
No comments:
Post a Comment