Pandemi Covid-19 telah merenggut jutaan nyawa di seluruh dunia, membawa penderitaan dan kesulitan hidup, menstimulasi keputusasaan dan hilangnya pengharapan. Martin Luther pernah memberikan jawab kepada orang-orang yang berteriak, “Tolong! Kita di masa epidemi yang hebat. Orang-orang sekarat. Apa yang kita lakukan?"
Luther menjawabnya dengan berbicara tentang mematuhi aturan minum obat, membantu secara praktis semampu kita, dan tidak menularkan penyakit kepada orang lain jika ada kemungkinan kita terinfeksi. Luther tidak memberi jawaban dengan membuat kehebohan teologis yang aneh-aneh tentang pandemi saat itu. Ia memberi solusi praktis yang sangat dibutuhkan.
Ada sebuah ide berpikir bahwa, respon terbaik terhadap penderitaan atau kesulitan hidup bukanlah kata-kata, melainkan tindakan, bahkan tindakan yang membutuhkan pengorbanan, dan Tuhan Yesus telah mencontohkan ini untuk kita. Tuhan Yesus tidak hanya duduk di surga, melihat ke bawah dan berkata, “Oke, Aku akan membereskan kekacauan dan penderitaan dunia.” Sebaliknya, Dia adalah Allah yang datang dan rela tangan-Nya terpaku agar bisa berada bersama kita dan menyelamatkan kita.
Bukan waktunya untuk meratapi kesulitan dan penderitaan hidup. Sejak semula, ketika manusia jatuh dalam dosa, penderitaan dan kesulitan telah menjadi 'pendamping' yang paling setia (bdk. Kej. 3:16-19). Bukan pula waktunya kita frustasi dan mempertanyakan keadilan Allah ketika fenomena orang fasik hidup lebih nyaman, seakan tidak ada sanksi bagi kejahatan yang mereka perbuat. Tidak tepat waktunya untuk mengumbar emosi negatif akibat cemburu kepada hidup orang lain yang tidak mengenal Allah. Jangan sampai kita merasa kebaikan dan ketaatan kita selama ini adalah sia-sia.
Saat ini, Tuhan sedang mengajak kita untuk bertolak ke tempat yang dalam (bdk. Lukas 5:1-11). Seorang bijak mengatakan, "Semakin besar pengorbanan, semakin besar reward yang didapat." Kenapa terkadang Allah mengajak kita ke area yang berbahaya? Karena Allah ingin kita menerima berkat lebih. Ketakutan, kekhawatiran, dan yang paling sering kita lakukan, yaitu: 'banyak alasan', inilah yang membuat kita 'apa anane' dalam menerima berkat Allah.
Berbagai alasan yang kita buat menjadikan kita pribadi yang tidak produktif. Sangat manusiawi jika kita mengutarakan berbagai alasan sebagai mekanisme perlindungan diri ketika kita diminta untuk bertolak ke tempat yang dalam atau ke area yang berbahaya. Tetapi terkadang, alasan yang kita buat itu tanpa dasar bahkan mengada-ada.
Mazmur 92:15 menuliskan, "Pada masa tua pun mereka masih berbuah, menjadi gemuk dan segar." Ketika menghadapi kesulitan dan penderitaan hidup, alasan usia menjadi umum dijadikan tameng untuk tidak lagi tangguh dalam bekerja dan berusaha. Alasan yang logis memang, tetapi jika kita perhatikan tokoh-tokoh Alkitab yang melakukan karya-karya besar di usia lanjut (Abraham 75 tahun, Musa 80 tahun, Harun 83 tahun, Daniel menjadi Gubernur di usia 83 tahun, Kaleb menaklukkan Kanaan di usia 85 tahun, dll.) dan juga tokoh-tokoh dunia (Mahatma Gandhi, Bunda Theresa, Nelsson Mandela, dll.) justru mencapai puncak mutu kehidupannya ketika mereka menginjak usia lanjut.
Dominion dalam satu karya bukunya yang berjudul: Bagaimana Revolusi Kristen Menciptakan Kembali Dunia, menunjukkan bahwa banyak hal yang dulu hanya dilakukan oleh gereja (orang Kristen), sekarang telah diambil alih oleh masyarakat sekuler dalam lingkup kehidupan yang lebih luas. Tetapi di awal Kekristenan, hanya orang Kristen yang melakukan hal-hal luar biasa itu. Jadi, dalam arti tertentu, semangat dan ketangguhan dalam bekerja dan berusaha dari orang-orang Kristen itu telah menyebar dan diadopsi oleh semua orang di seluruh dunia. Dan kita harus bersyukur kepada Allah untuk itu.
Sebagai gereja yang adalah tubuh Kristus, kita semua telah diingatkan bahkan diperintahkan untuk senantiasa giat dalam bekerja dan berusaha walau di tengah kesulitan sekalipun (bdk. 2 Tes. 3:10-12). Dan bukan hanya perintah yang Tuhan berikan tetapi juga ada janji pemeliharaan (bdk. Yosua 14:10), berkat dan solusi (bdk. 1 Kor. 10:13) bagi setiap orang percaya. Gereja telah membuktikan ketangguhannya dalam bekerja dan berusaha sekalipun dalam keadaan yang sulit.
Mengasihi sesama ketika dimusuhi, mengobati ketika terluka, merawat orang miskin walaupun kekurangan, dan terus memberi pendidikan walau dianggap bodoh karena iman kepada Kristus. Semua ini tertanam mendalam di dalam DNA gereja.
Jadi, bisakah kita melanjutkan semangat bekerja dan berusaha yang telah diwariskan oleh para pejuang iman terdahulu? Kita pasti bisa, tetapi tidak dilakukan sendiri. Dalam situasi dan kondisi tertentu secara pribadi mungkin kita bisa melakukannya, tetapi Kekristenan adalah seperti team dalam olahraga.
Segala sesuatu harus kita lakukan bersama dengan buah-buah Roh sebagai dasarnya (bdk. Gal. 5:22-23). Semakin cepat kita berlatih, semakin cepat kita menggapai ketangguhan, baik sebagai pribadi maupun sebagai komunitas orang percaya. Tuhan Yesus memberkati. Amin.
Pdt. Andriyan, M.Th (Gembala Jemaat GITJ Pati & Dosen di STAK Wiyata Wacana - Pati)
No comments:
Post a Comment