“Hendaknya orang terlebih dahulu mengembangkan diri sendiri dalam hal-hal yang pantas, dan selanjutnya melatih orang lain. Orang bijaksana yang berbuat demikian tak akan tercela”. “Sebagaimana ia mengajari orang lain, demikianlah ia berbuat. Setelah ia dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik, hendaklah ia melatih orang lain, sesungguhnya amat sukar untuk mengendalikan diri sendiri”
(Dhammapada, Syair 158-159)
Belum lama ini kita melihat dan mendengar berita di televisi, media online, cetak maupun jejaring social lainnya yang membuat kita terkaget-kaget dan seakan tidak percaya yakni berita tentang tokoh motivasi atau orang yang ditokohkan terlibat dalam skandal penipuan, ada juga tokoh agama yang diduga terlibat tppu, korupsi, penggelapan, ujaran kebencian, dan sebagainya. Fenomena ini tentu saja membuat kita semua prihatin dan menyesali apa yang terjadi. Mengapa orang yang seharusnya menjadi panutan tiba-tiba berubah menjadi sosok yang berperkara dengan hukum dan melanggar nilai-nilai agama serta norma-norma kebajikan dalam masyarakat yang selama ini gencar diajarkannya? Meskipun di sisi lain kita tidak menampik bahwa masih lebih banyak tokoh agama dan rohaniwan yang teguh mempertahankan nilai-nilai ajaran Dharma dan norma-norma dalam masyarakat.
Mempraktikkan ajaran dan menjadi teladan bagi masyarakat bukan suatu hal yang mudah. Para tokoh agama yang melakukan kesalahan sedikit saja akan dicela oleh masyarakat. Apa yang diucapkan itulah yang seharusnya dilaksanakan sehingga seseorang dipercaya dan memiliki integritas tinggi. Hal ini selaras dengan ungkapan dalam bahasa Jawa “ajining diri gumantung ono ing lathi”, yang berarti nilai keutamaan dari manusia tergantung ucapannya. Namun ungkapan itu dimaksudkan untuk ucapan yang bernilai, yaitu ucapan yang dibuktikan dengan tindakan. Bukan ucapan “Jarkoni atau biso ujar ora iso nglakoni” artinya bisa berucap tetapi tidak bisa menjalani. Untuk menjadi berintegritas seperti itu kita wajib berpegang teguh Pancasila Buddhis. Sila keempat Pancasila Buddha, Musavada veramani sikkhapadam sammadiyami, mengingatkan kita untuk senantiasa melatih diri menghindari ucapan tidak benar. Ucapan yang tidak benar ini meliputi kebohongan, penipuan, ingkar janji, berdusta, bergunjing, omong kosong, dan ujaran yang bertujuan membuat orang lain tersesat atau gagal faham. Namun dalam aspek positif, ucapan benar itu adalah keselarasan antara ucapan dan perbuatan.
Menjadi figur dan pribadi yang baik dimulai dari diri sendiri. Karena itu Buddha mengajarkan kita untuk membina diri sendiri terlebih dahulu sebelum membina atau mengajar orang lain. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk melatih diri sendiri menjadi pribadi yang lebih baik, diantaranya: (1) senantiasa interopeksi diri, hal utama yang harus dilakukan adalah dengan melakukan introspeksi diri karena sebagai seorang manusia pasti memiliki banyak kekurangan dan tidak luput dari emosi. Merenungi dan refleksi dengan melihat ke-dalam diri sendiri kekurangan serta kesalahan yang pernah dilakukan agar tidak terulang kembali; (2) koreksi diri, setelah merenungkan kesalahan dan kekurangan diri sendiri, hendaknya untuk selalu memperbaiki pikiran, ucapan dan perbuatan kita agar lebih banyak dapat mengembangkan kesadaran yang lebih baik; (3) pengendalian diri, dalam Pancasila Buddhis umat Buddha sudah dibiasakan untuk bertekad dalam melatih diri mengendalikan pikiran, perbuatan serta ucapan buruk yang muncul, agar kualitas hidup berkembang ke arah yang lebih baik, berkesadaran, dan harmoni pada sesama manusia, makhluk, lain maupun semesta.
Sabbe satta bhavantu sukhitatta,
Semoga semua makhluk hidup berbahagia.
Penulis: Taat Handoko (Penyuluh Agama Buddha Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah)
No comments:
Post a Comment