“Orang bijaksana mengharapkan anak yang meningkatkan martabat keluarga,
dan mempertahankan martabat keluarga,
dan tidak mengharapkan anak yang merendahkan martabat keluarga;
yang menjadi penghancur keluarga”
(Khuddaka Nikaya, 252)
Keluarga adalah bagian terkecil masyarakat yang berawal dari hubungan lahir batin antara pria dan wanita dalam ikatan perkawinan. Menurut pandangan Agama Buddha, perkawinan adalah sebuah pilihan bukan kewajiban. Umat Buddha yang memilih untuk hidup berkeluarga, hendaknya tetap mempraktikkan Dhamma sehingga terwujud keluarga yang hitta sukhaya. Hubungan lahir batin antara pria dan wanita dalam ikatan perkawinan akan terus berkembang dengan lahirnya anak sebagai penerus keluarga.
Ada istilah “banyak anak, banyak rejeki”. Anak tidak memiliki pendidikan tinggi tidak menjadi masalah, dengan harapan ketika dewasa bisa saling membantu saudaranya. Pada masa sekarang, istilah tersebut sudah tidak relevan dengan himbauan Pemerintah. Banyak sedikitnya anak akan berpengaruh pada tingkat ekonomi dan sosial sebuah keluarga. Semakin banyak anak, orang tua membutuhkan biaya pendidikan tinggi untuk menyiapkan masa depan anak.
Apabila anak putus sekolah dan tidak memiliki keahlian, akan menambah tingkat pengangguran di Indonesia. Selain itu, semakin banyak pernikahan dini pada remaja, akan menambah ancaman stunting. Padahal anak-anak merupakan generasi emas penerus bangsa. Maju tidaknya sebuah bangsa, bergantung pada kualitas para anak atau pemuda.
Pemerintah yang dimaksud dalam hal ini adalah Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Pemerintah mengharapkan pasangan yang telah memiliki keturunan, dapat mengikuti program Keluarga Berencana (KB). Saat ini BKKBN tidak lagi menganjurkan “dua anak cukup”, namun diganti dengan “dua anak lebih sehat”, diharapkan agar keluarga di Indonesia memiliki kehidupan sehat secara jasmani maupun rohani.
Dalam Khuddaka Nikaya (286) disebutkan bahwa “ayah dan ibu adalah guru yang pertama”. Pasangan yang ingin memiliki anak, dapat mempersiapkan diri terlebih dahulu, baik secara mental maupun material. Pasangan yang memiliki kesiapan dan pengetahuan luas, diharapkan dapat membimbing anak-anaknya dengan baik, sehingga memiliki kualitas sumber daya manusia yang baik pula.
Calon orang tua perlu memiliki persiapan dan pengetahuan dari berbagai bidang, seperti kesehatan, finansial, spiritual, maupun sosial. Calon orang tua terutama ibu harus memerhatikan kesehatan anak, mulai dari janin hingga anak lahir, harus didukung dengan makanan yang bergizi cukup, untuk meminimalisir potensi stunting.
Dalam bidang spiritual, orang tua hendaknya memberikan pendidikan moral sejak anak masih dalam kandungan, lahir, hingga dewasa, diawali dengan cara sederhana, seperti puja bakti, menasehati anak sehingga memiliki pergaulan baik, apabila anak memiliki pergaulan buruk, akan berpengaruh pada kehidupan anak tersebut. Orang tua harus menganjurkan anak-anaknya untuk bergaul dengan orang dan lingkungan yang baik, untuk mendatangkan kebahagiaan.
Hal ini sesuai dengan ajaran Buddha Gautama yang dijelaskan dalam Manggala Sutta (II dan III) yang berbunyi: “Tak bergaul dengan orang dungu, Bergaul dengan para bijaksanawan, dan menghormat yang patut dihormati, Itulah berkah utama”. Sebagai Umat Buddha yang menjalani hidup berumahtangga, mari kita wujudkan keluarga yang hitta sukhaya, memiliki dua anak yang tumbuh sehat, kuat, cerdas serta bebas dari stunting.
Penulis: Dwi Wahyuni, S.Pd.B (Penyuluh Agama Buddha Kemenag Kota Surabaya)
No comments:
Post a Comment