Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus. Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ mengungkapkan hal yang terus kita kumandangkan, bahkan menjadi semboyan Ditjen Bimas Katolik sampai saat ini, “100 persen Katolik dan 100 persen Indonesia”. Ungkapan ini menjadi begitu penting karena komitmen pada Gereja sekuat pada komitmen pada negara.
Setiap orang yang telah mendeklarasikan diri sebagai orang Katolik harus 100 persen menjadi warga negara Indonesia yang baik pula. Dengan kata lain, orang tidak akan menjadi hanya separuh saja karena itu pun akan menjadi hanya separuh juga dalam komitmennya.
Ungkapan “100 persen Katolik dan 100 persen Indonesia” bisa saja merupakan tafsiran paling mengena dari Injil Matius 22: 15-21, di mana Yesus tidak membedakan apalagi mempertentangkan menjadi warga negara dengan kaisar sebagai pemimpinnya dan panggilan membangun Kerajaan Allah yang sedang Ia pimpin.
Dalam perikop di atas dikatakan bahwa orang-orang Farisi berniat jahat dengan menjebak ketaatan Yesus kepada Kaisar. Mereka memberikan suatu pertanyaan terhadap Yesus (ayat 16-17), “Guru, kami tahu, Engkau adalah seorang yang jujur dan dengan jujur mengajar jalan Allah dan Engkau tidak takut kepada siapa pun juga, sebab Engkau tidak mencari muka. Katakanlah kepada kami pendapat-Mu: apakah diperbolehkan membayar pajak kepada kaisar atau tidak?”
Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus. Sebenarnya jika dilihat dari pertanyaan orang farisi tersebut, dapat dikatakan sungguh baik, mereka secara halus dan lembut bahkan dengan penuh hormat kepada Yesus. Tetapi motivasi yang ada di balik pertanyaan sangat jauh dari kata baik, bahkan sangat munafik. Mereka menyebut Yesus guru (pada saat itu, sebutan guru dalam bahasa mereka disebut ‘rabi’ yang merupakan sapaan kepada dia yang dihormati), tetapi mereka sama sekali tidak menghormati Yesus, bahkan berniat buruk terhadapnya.
Yesus tidak mempertentangkan menjadi warga negara dengan kaisar sebagai pemimpinnya dan panggilan membangun Kerajaan Allah yang sedang Ia pimpin. Jawaban Yesus sungguh jelas: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar, dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah,” (Matius 22: 21).
Dengan hikmat-Nya, Yesus sama sekali tidak menetapkan hukum atau peraturan untuk dilakukan, namun Dia meletakkan prinsip yang jelas sebagai pedoman bagi setiap orang. Yesus menjelaskan bahwa sebagai manusia (warga negara), mereka punya kewajiban untuk negeri di mana mereka tinggal. Sebagai ciptaan, mereka juga punya kewajiban kepada Penciptanya.
Yesus menggunakan kata wajib/harus menjelaskan bahwa penghormatan kepada Allah dan pemerintah itu wajib hukumnya. Penjelasan Yesus menunjukkan adanya pembatasan di antara kedua kewajiban itu. Kita tidak boleh memberikan kepada kaisar apa yang menjadi hak dari Allah. Kalau kaisar menuntut sesuatu yang menjadi hak Allah, misalnya untuk disembah atau dituhankan, maka harus ditolak dan tidak ada toleransi untuk itu (Kisah Para Rasul 5: 29). Dan sebaliknya, kita juga tidak boleh memberikan kepada Allah apa yang menjadi hak kaisar (misalnya: memberikan pajak kepada Tuhan/Gereja). Dengan demikian setiap orang harus menunjukkan kepatuhan kepada Allah dengan totalitas hidupnya, dan kepatuhan kepada pemerintah sesuai dengan ketetapan dan peraturan yang berlaku.
Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus. Jawaban Yesus yang benar-benar di luar dugaan itu membuat mereka tidak mampu menyembunyikan kekagumannya sampai-sampai mereka tidak dapat lagi memberi tanggapan atas jawaban Yesus. Sekali lagi mereka harus menanggung malu di hadapan banyak orang karena kedegilan mereka sendiri.
Namun, semua itu tidak cukup untuk membuat mereka jera untuk mencari cara untuk menangkap Yesus. Mereka pergi meninggalkan Yesus dan orang banyak itu bukan untuk mengoreksi diri, namun justru untuk merancang rencana lain untuk menangkap Yesus.
Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus. Pernahkah Anda melihat dua orang (kubu) yang bertentangan/ bermusuhan bergabung untuk mencegah ditegakkannya kebenaran dan keadilan? Inilah yang terjadi dalam perikop kita ini.
Segala cara dilakukan oleh pemuka agama Yahudi untuk mencegah pelayanan Yesus. Bahkan mereka yang pada dasarnya adalah kelompok yang saling sikut, mau bersatu untuk tujuan yang justru menentang kebenaran, padahal sebenarnya tugas mereka adalah membela kebenaran dan keadilan bagi umat Tuhan.
Bagaimana dengan kita orang Katolik yang memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menunjukkan jati diri kita sebagai pengikut Kristus? Sudahkah kita mampu membela dan menegakkan kebenaran dalam aspek hidup kita atau justru masih bagian dari penentang dan penolak kebenaran itu?
Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus. Ketika Yesus diserang dengan pertanyaan tentang bagaimana bersikap terhadap pemerintah/Kaisar, Yesus memberi pemahaman dan prinsip yang selama ini tidak dimiliki oleh orang Yahudi yang berada dalam kekuasaan Romawi. Yesus tidak hanya memperbolehkan mereka mematuhi raja, namun mengharuskan mereka untuk patuh kepada Kaisar.
Sebagai orang Katolik, kita memiliki dwi-kewarganegaraan. Sebagai warga negara, kita juga harus memiliki kepatuhan akan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah, termasuk memenuhi kewajiban kita sebagai warga negara. Perangkat pemerintah adalah orang-orang yang Tuhan pilih dan berasal dari Allah (Roma 13: 1-7). Inilah alasan mengapa kita harus mematuhi mereka dan aturan yang mereka buat. Namun kepatuhan kepada aturan pemerintah jangan sampai menghilangkan identitas kita sebagai warga Kerajaan Allah. Paulus mengingatkan kita “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia” (Kolose 3: 23). Semoga Tuhan Yesus memberkati kita semua. Amin.
No comments:
Post a Comment