Setiap orang memiliki kemampuan untuk membuat perubahan dalam hidupnya. Manusia sebagai makhluk sosial dapat membuat kemajuan nyata untuk manfaat yang lebih luas. Memperingati hari kanker sedunia setiap 4 Februari, penting bagi kita untuk memiliki wawasan yang luas dan sumber akurat tentang penyakit kanker.
Kanker adalah penyakit yang terjadi akibat pertumbuhan sel abnormal tak terkendali dan bisa menyebar ke area sekitarnya. Sel-sel yang tumbuh secara abnormal dan berkembang biak membentuk tumor atau gumpalan jaringan, yang bisa bersifat ganas atau tidak jinak. Ketika kanker sudah semakin parah, tentu tidak mudah untuk memulihkan kesehatan seperti sedia kala.
Dalam Syair Dhammapada 204, disebutkan “Arogyaparama labha” yang berarti Kesehatan adalah keuntungan yang paling besar. Perlu pemahaman bahwa kesehatan merupakan keuntungan yang paling besar. Sehingga, perlu wawasan untuk mencegah berbagai macam penyakit, termasuk kanker.
Kesehatan jasmani maupun batin perlu dijaga, karena keduanya memiliki peran penting sebagai penunjang demi tercapainya tujuan beragama. Apabila jasmani atau batin tidak sehat, itu dapat menjadi penghalang dalam mempraktikan ajaran agama.
Sebagai umat Buddha, kita membutuhkan keyakinan sebagai nilai dasar beragama. Keyakinan pada Tiratana yang dikembangkan, dapat digunakan untuk menghadapi rasa takut seperti yang dijelaskan pada syair berikut: “Jika engkau berlindung kepada Buddha, Dharma dan Sangha, perasaan takut, khawatir, cemas, tidak akan muncul.” (S. I, 220).
Keyakinan (saddha) merupakan kepercayaan yang berdasarkan kebijaksanaan. Keyakinan dalam agama Buddha bukanlah keyakinan yang tanpa dasar atau keyakinan yang membabi buta. Memunculkan keyakinan suatu ajaran dalam agama Buddha dapat dilakukan dengan cara melakukan penyelidikan/pembuktian melalui pengalaman langsung, atau yang dikenal dengan praktik ehipassiko.
Ehipassiko berarti datang, lihat, dan buktikan yang merupakan usaha untuk menumbuhkan keyakinan secara bijaksana. Pentingnya memiliki keyakinan yang benar, seperti yang dijelaskan dalam Kalama suttta (AN 3.65), yaitu:
“Janganlah begitu saja mengikuti apa yang telah diperoleh karena berulang kali didengar; atau yang berdasarkan tradisi; atau yang berdasarkan desas-desus; atau yang ada di kitab suci; atau yang berdasarkan dugaan; atau yang berdasarkan aksioma; atau yang berdasarkan penalaran yang tampaknya bagus; atau yang berdasarkan kecondongan ke arah dugaan yang telah dipertimbangkan berulang kali; atau yang kelihatannya berdasarkan kemampuan seseorang; atau yang berdasarkan pertimbangan, 'Bhikkhu itu adalah guru kita.' Para Kalama, bila kalian sendiri mengetahui: 'Hal-hal ini buruk; hal-hal ini salah; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; bila dilakukan dan dijalankan, hal-hal ini akan mengarah pada keburukan dan kerugian,' tinggalkanlah hal-hal itu.”
Seseorang yang kuat dalam keyakinan tetapi lemah dalam kebijaksanaan akan memiliki keyakinan yang fanatik dan tanpa dasar. Seseorang yang kuat dalam kebijaksanaan tetapi lemah dalam keyakinan akan (mengetahui bahwa ia) bersalah jika berbuat kejahatan, tetapi sulit untuk menyembuhkannya bagaikan seseorang yang penyakitnya disebabkan oleh si obat sendiri. Bila keduanya seimbang, seseorang akan memiliki keyakinan bila ada dasarnya (Visuddhimagga, 129).
Keyakinan yang salah, seperti kanker yang menggerogoti tubuh karena kurangnya wawasan dan tindakan yang tepat untuk mencegah kemunculannya. Apabila kita memiliki keyakinan salah tanpa kebijaksanaan maka dapat mengarahkan pada keburukan dan kerugian baik untuk diri sendiri maupun kepada orang lain ibarat penyakit kanker. Melalui praktik ehipassiko kita akan memiliki keyakinan yang benar setelah membuktikan sendiri kebenaran yang terdapat dalam ajaran Buddha. Wawasan yang benar tentang penyakit kanker dasar keyakinan untuk mengambil tindakan pencegahan penyakit kanker sebagai keputusan yang bijaksana.
Heri Paryono (Rohaniwan Buddha)
No comments:
Post a Comment